Kiprah 5 Srikandi Pariwisata Bali Dikisahkan dalam Buku ‘Segara Giri’

Senin, 04 Januari 2021 : 11.07

Para srikandi pariwisata Bali, penulis, dan beberapa undangan foto bersama seusai bincang-sore santai di Hotel Segara Village, Minggu, 3 Januari 2021. (Foto: Istimewa)

DENPASAR (inibali.com): Kisah lima srikandi yang dinilai memiliki kontribusi bagi perkembangan pariwisata Bali dibukukan dengan tajuk Segara Giri, Kontribusi Perempuan dalam Pariwisata Bali.

Penulis buku ini Prof. I Nyoman Darma Putra mengatakan gagasan menyusun buku tersebut sudah muncul sejak 2014 ketika ia meneliti ‘srikandi kuliner Bali’ yang mengungkapkan peran perempuan Bali dalam pengembangan pariwisata melalui usaha makanan, warung, restoran, atau katering. 

“Gagasan itu baru terwujud setelah mendapat saran dan dorongan dari Sekretaris Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Sekretaris Utama Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Dra. Ni Wayan Giri Adnyani, M.Sc, CHE,” katanya, seusai launching buku di Segara Village, Sanur, Minggu (3/1/2021).

Dalam masa Pandemi Covid-19, sekitar akhir September 2020, Giri Adnyani ‘menantang’ Darma Putra untuk menulis cerita sukses dan perjalanan para srikandi pariwisata Bali yang diharapkan rampung sekitar Desember 2020. 

Menurut Darma Putra awalnya muncul beberapa nama, tetapi dengan alasan pertimbangan waktu dan materi yang bisa digali dari setiap tokoh, akhirnya diputuskan lima tokoh seperti tertuang dalam buku ini.

Buku Segara Giri, Penerbit Pustaka Larasan (2020)

Kelima tokoh perempuan tersebut adalah Anak Agung Mirah Astuti Kompiang (perintis pariwisata di Sanur), Ni Wayan Giri Adnyani (Sesmen Kemenparekraf), Ni Putu Eka Wiryastuti (Bupati Tabanan 2011-2021), Ni Made Masih (Warugn Made), dan Ni Made Karyani (Mason Adventures).

Darma Putra menegaskan  masih banyak tokoh perempuan dengan kiprah dan kontribusi terhadap pembangunan kepariwisataan Bali selain yang lima ini. “Mereka juga berhak mendapat apresiasi untuk digali pengalamannya sebagai inspirasi. Semoga lain kali apresiasi yang diharapkan ini bisa teruwjud,” kata Darma Putra yang juga penulis Wanita Bali Tempo Doeloe Perspektif Masa Kini (2003, cetak ulang 2007) ini.

Ia menjelaskan ungkapan ‘Segara Giri’ berasal dari bahasa Jawa Kuna yang sudah menjadi bahasa Bali, yang berarti ‘laut’ dan ‘gunung’. Dalam kosmologi Bali, kedua tempat yang kontras ini: gunung identik dengan ‘ketinggian’, ‘laut’ identik dengan kedalaman.

“Kedua tempat ini selalu dituju untuk ritual penyucian. Keduanya menjadi orientasi kesucian, keikhlasan dan kebahagiaan: datang dan menuju,” kata mahaguru Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana ini.

Sekretaris Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Sekretaris Utama Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Dra. Ni Wayan Giri Adnyani, M.Sc, CHE

Dalam buku ini, Segara Giri, dipakai sebagai kiasan untuk dua dunia pariwisata. Dunia ‘segara’ adalah dunia ‘masyarakat’ tempat para tokoh membangun usaha dan membuka lapangan kerja di bidang kepariwisataan dengan segala gelombang dan tantangan, sedangkan ‘giri’ adalah ‘dunia regulasi’ tempat para tokoh merancang ketentuan untuk tata kelola pariwisata.

Dari kelima tokoh yang ditulis dalam buku ini, Ni Wayan Giri Adnyani dan Ni Putu Eka Wiryastuti dianggap sebagai representasi ‘giri’, sedangkan tiga tokoh lainnya Anak Agung Mirah Astuti Kompiang, Ni Made Masih, dan Ni Made Yani adalah representasi ‘segara’.

Darma Putra menambahkan, Sekretaris Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Sekretaris Utama Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Ni Wayan Giri Adnyani memberikan ‘tantangan’ kedua untuk menuliskan kisah para srikandi lain dalam buku selanjutnya.(wan)