Pandora Paradise, Penanda Awal Kuta Sunrise Art Project 2021

Senin, 14 Desember 2020 : 11.06


PAMERAN seni instalasi karya I Ketut Putrayasa ini merupakan penanda awal dari serangkaian proyek seni rupa Kuta Sunrise Project Art 2021 yang kelak dihelat di Kuta. Sebuah proyek seni yang diniatkan sebagai suar, penerang harapan tentang dunia. Kelak proyek seni itu diharapkan turut memberi inspirasi bagi setiap orang dari mana pun berasal dan siapa pun ia. Demikianlah pernyataan Putrayasa dalam sebuah percakapan pada suatu kesempatan.

Inspirasi karya seni instalasi ini datang dari mitologi Yunani, tentang sebuah kotak istimewa yang kemudian hari menjadi sebab datangnya malapetaka. Kotak itu dikenal sebagai Kotak Pandora, sebuah ‘artefak’ penyimpan cerita tentang hidup manusia dengan gema abadi sepanjang jaman dan tempat. Karya seni instalasi Pandora Paradise merupakan tafsir bebas atas mitologi Kotak Pandora itu. Kata ‘paradise’ tentu sebuah metafora, ia sebuah perumpamaan.

Antara Distopia dan Utopia

Di tahun 1726 Jonathan Swift menerbitkan karya fiksi ilmiah dengan judul Gulliver’s Travels. Dalam sebuah perjalanan panjang, Gulliver bertemu dengan masyarakat fiksi. Gambaran masyarakat yang tampak bersinar pada mulanya tapi menyimpan sisi gelap dalam perjalananya. Di Laputa, sebuah pulau yang melayang, Gulliver menemukan proyek ambisius yang gagal. Di atas pulau itu para ilmuwan dan perencana sosial merancang skema proyek yang boros dan tanpa faedah. Laputa bukanlah pulau ideal, ia berada di persimpangan antara apa yang yang tampak gemilang dan apa yang muram. Swift memberitahu kita tentang janji kebahagiaan tak terpenuhi dalam sesuatu yang tampak megah, kekacauan Laputa tampil nyata. Pada novelnya itu, Swift membentuk cetak biru aliran distopia. (Distopia merupakan oposisi biner dari kata utopia yang digunakan oleh Sir Thomas More dalam novel Utopia yang bertarikh 1516).

Gema novel abad ke-17 itu cukup panjang. Tak cuma pasif, sebab gambaran di abad itu menjadi bagian dari ruang hidup manusia sepanjang jaman. Gulliver’s Travels itu membawa suara abadi: imajinasi dan ambisi Laputa berdenyar dari zaman ke zaman, bahkan hingga tiba di masa kontemporer ini. Tak beda, bukankah kini manusia modern memiliki ambisi menciptakan pulau (tempat) yang dibayangkan, atau lebih tepatnya disangka, sebagai sorga yang nyata? Tak hanya menampung impian tentang kemegahan, di dalam Pandora Paradise juga tersimpan kecemasan.

Sebagaimana pada narasi mitologi Kotak Pandora, di dalam Pandora Paradise menyimpan dua kenyataan sekaligus yakni distopia dan utopia. Distopia, di dalamnya tergambar segala hal yang tak ideal dan tak dikehendaki. Manusia menemukan dirinya dalam kehidupan yang kacau, buruk, muram dan mengancam. Berbeda dengan itu, utopia adalah gambaran tentang hidup yang diharapkan, yang sempurna, damai dan mengasyikkan. Keduanya tampil sebagai wajah dunia. Ada kalanya tarik-menarik, juga ada saatnya saling menggenapi.

Kotak Pandora seharusnya terkunci selamanya. Tapi keingintahuan Pandora adalah awal kutukan. Kotak itu dibukanya lalu malapetaka menjalar ke mana-mana. Semenjak itu distopia menemukan tempat, manusia dari waktu ke waktu harus hidup dengan rasa cemas bersama prestasi, kejatuhan dan corak dirinya. Kutukan itu punya ekor panjang, membayangi hidup manusia hingga tiba di hari ini. Suatu masa ketika modernisasi semakin mantap menyelenggarakan proyek kemajuan tiada akhir.

Memang benar, modernisme telah menyulap kebudayaan manusia dengan berbagai prestasi kemajuan. Tapi dalam hal lain, modernitas juga berarti tampilnya sisi gelap, tempat manusia mendiami distopia. Paradigma modernisme dipandang gagal menuntaskan semangat pencerahan Abad Ke-18. Di wajah modernitas menempel patologi yang menjadi sebab makin tereduksinya hakikat manusia. Modernisme memang berjalan dengan dalil, tapi ia kehilangan landasan praksisnya untuk memenuhi janji emansipasi yang dulu lantang didengungkannya. Ini agaknya, terutama, berpangkal pada batas-batas, implikasi dan realisasi asumsi-asumsi modernisme itu sendiri. Modernisme yang dulu diagung-agungkan sebagai pembebas manusia dari belenggu mitos dan berhala kebudayaan abad peretengahan yang menindas, kini terbukti justru membelenggu manusia dengan mitos dan berhala baru yang bahkan lebih menakutkan. Kita hidup bersama kebudayaan yang ditandai dengan kejayaan kapitalisme. Manusia menjadi cemas di tengah gempuran informasi dan teknologi secara massif, ledakan konsumerisme, dan kehadiran realitas gadungan dalam kultur simulasi.

Lalu, soalnya tentu tak cuma dalam hal bagaimana komuitas-komunitas masa silam beserta khazanah tradisinya kian menyusut ruang reproduksinya, tetapi juga bagaimana kita hidup bersama lapis-lapis ruang yang kini membaur sebagai komoditas dalam masyarakat kontemporer. Yang kita saksikan kemudian, alienasi kultural berlangsung lebih kuat melalui arus globalisasi. Arus ini membawa risiko pergeseran bahkan mutasi identitas yang tak terbayangkan sebelumnya. Identitas apa pun jadi semakin sulit ditangkap secara tetap dan pasti. Yang ‘murni’ dan yang ‘asli’ kian jadi tanda tanya. Nilai budaya otentik beserta tradisinya dan legitimasi lembaga moral tradisional terancam kehilangan wibawa. Semuanya retak di hadapan ruang komoditas dalam ‘masyarakat simulasi’. Masyarakat harus hidup bersama silang-sengkarut tanda, kode dan model yang diatur sebagai produksi dan reproduksi dalam ruang komoditas itu.

Tak hanya itu, lebih jauh lagi,globalisasi menjadi lebih intensif karena dipacu oleh kegemilangan sains dan teknologi mutakhir. Sambutan bersemangat yang terdengar di Abad Ke-21, kita hidup di zaman yang mengelu-elukan sains dan teknologi. Itulah masa ketika sains dan teknologi hendak mempercepat waktu dan merapatkan ruang. Dunia berubah secara fundamental semenjak kita hidup dalam lingkungan yang kian diterjemahkan oleh teknologi digital. Teknologi cyber mengubah masyarakat dunia menjadi masyarakat digital. Teknologi reproduksi dengan kode digitalnya telah membuat geografi fisik makin bertransformasi menjadi geografi elektronik. Kita berada dalam sebuah dunia yang serba transparan tanpa dinding. Dunia yang tiap bagiannya saling terhubung dalam jejaring informasi dan komunikasi yang berdenyut sangat cepat.


Kita tak yakin bagaimana di zaman ini, siapa pun yang teribat dalam proses itu tak melihat chaos sebagai kenyataan. Kegemilangan sains dan teknogi berkelindan dengan masalah-masalah serius yang ditimbulkan sebagai dampaknya. Terdapat kekhawatiran atas ketidakmampuan manusia mengatasi dan menanggung risiko, bahaya dan bencananya. Teknologi digital bisa menjadikan retak-pacahnya masyarakat, pudarnya kebiasaan sosial dan longgarnya tali-temali kekerabatan. Setiap individu sebagai subyek menjadi berjarak dengan dunia realitas, kohesi sosial renggang karena proses isolasi antara satu dengan lainnya dan masyarakat semakin terfragmentasi akibat intensitas komunikasi fisik mulai berkurang. Alih-alih menghasilkan kepuasan dan kebahagiaan, pada puncaknya teknologi melemparkan manusia ke daratan nestapa ‘ketakpuasan’ dan ‘tak bahagia’ yang abadi. Sepanjang waktu terpasung dalam seduksi teknologi dan tenggelam dalam strukturnya. Ruang refleksi menyusut, manusia tercerabut dari dimensi mistis, metafisis, dan spiritualitasnya. Maka tak selamanya yang disebut sebagai kemajuan adalah sesuatu yang membawa manusia ke suatu yang selamanya tenteram.

Dengan bahasa ungkap simbolik dan metaforik serta inovasi visualnya, Pandora Paradise menampung atmosfer yang tumbuh dari sebuah jaman yang makin kompleks ini. Kita hendak diajak mengaktifkan imajinasi dan menghidupkan pengalaman atas ruang-waktu dalam modernitas. Karya ini mendapatkan gema ketika dunia ditandai oleh perubahan-perubahan radikal yang begitu cepat dan keserentakan pengalaman seiring kontraksi ruang-waktu. Sebuah situasi yang belakangan kerap disuarakan oleh teoritikus globalisasi. Begitulah gambaran karyaseni instalasi Putrayasa adalah potret zaman. Dari sini agaknya kita bisa bicara hubungan antara seni dan realitas yakni soal kaitan antara ‘pengalaman’ dan ‘membentuk’. Lewat pengalaman si seniman yang terhubung dengan kenyataan sekitar, lalu menautkan dengan sensivitasnya untuk menghadirkan bentuk yang spesifik di dalam seni.

Tidak seperti dalam mitologi Yunani, pada karya Putrayasa ini sepenuhnya memiliki bentuk yang berbeda. Bukan kotak kedap dengan dinding rapat, tempat segala yang rahasia tak boleh bocor, tapi sebuah formasi kotak transparan. Mungkin dari sini Putrayasa ingin mengatakan bahwa saat ini dunia nyaris tak lagi bisa menyembunyikan rahasia. Sains dan teknologi di masa kini menjadi sebab dunia menjadi telanjang. Di sisi yang berbeda, formasi bentuk geometri yang berjejer merapat, homogen, dan monoton pada karya ini serupa konstruksi gedung modern. Hal ini menyiratkan ruang dalam modernitas adalah ruang yang tiap sudutnya bisa diketahui dan tiap sisinya bisa diukur. Di hadapan kita, Pandora Paradise hadir sebagai imaji ruang dengan dalil matematik: segala hal bisa dihitung, diketahui, dan dijelajahi. Tak ada enigma, kita kehilangan dimensi misteri.

Karya seni instalasi ini berupa sebuah kotak tembus pandang berbahan akrilik. Di dalamnya tampak himpunan bambu artifisial (sintetis) dengan ujung runcing disusun membentuk formasi seperti himpunan anak panah yang sedang melayang. Bambu-bambu itu tampak sebagai arus yang satu, bergerak padu selaras. Seakan menghujam di udara menuju arah tertentu, lalu menembus dinding kotak. Dinding bocor maka malapetaka menyebar ke mana-mana— sebagaimana dalam narasi dalam mitologi itu. Di situlah karya seni instalasi Putrayasa memperlihatkan gagasan tentang distopia itu.

Warna-warni bambu ini saling bersaing untuk kemudian saling menyelaraskan diri. Pada saat lain, seolah penglihatan kita diajak meluncur mengikuti kesan melayang objek. Kesan ini dihidupkan oleh sebuh daya yang berproses di antara yang ambigu: dari sebuah suspens antara kotak transparan dan warna-warni pada bambu-bambu itu. Dan, ini makin intensif oleh kontras pendaran cahaya lampu dari dasar lantai yang menyala saat malam hari. Berhadapan dengan karya ini kita disuguhi kemewahan rupa dengan kilau cahaya memanjakan mata. Praktis tak ada kesan keliaran anasir kerupaan chaotic yang dibiarkan mengganggu.

Atas semua itu, pada hemat saya, barangkali Putrayasa hendak menyodorkan satire: yang tampak warna-warni itu jadi palsu. Pandora Paradise seakan medan tarung antara keindahan dan kengerian yang menghujam. Warna psychedelic pada bambu-bambu itu menenggelamkan rasa ngeri ujung bambu. Kita tahu, warna psychedelic adalah warna-warna ramai, mencolok, menyala-nyala di mata, dan saling bertabrakan. Ini mengingatkan kita pada psychedelic art yang berkembang di tahun 1970-an. Sebuah aliran seni yang mengusung efek ketidaksadaran dan halusinasi pengalaman psychedelic.

Maka, bukankah distopia di masa kontemporer ini seperti halnya taburan warna-warni psychedelic yang bersembunyi dalam kepalsuan dan ketidaksadaran budaya kontemporer yang kita rayakan? (Jika engkau mencintai kemolekannya, engkau tak sanggup meninggalkannya).

Pada Pandora Paradise kita berjumpa dengan fantasi tentang keindahan indrawi tapi pada saat lain kita menangkap sesuatu yang non-indrawi sebagai yang tak elok. Karya ini bergerak antara yang kasat mata dan yang tidak. Kita menyambut ambiguitas: di satu sisi kita melihat kemolekaan karya Putrayasa tapi di sisi lain ketika melihat juga menyambut yang tak terlihat (yang hanya bisa dirasakan) yakni rasa ngeri— dan kita tahu itu jauh dari rasa elok. Hubungan ambiguitas antara wujud fisik dengan sebuah dunia enigma yang kita tangkap meski secercah itu yang justru menyebabkan seni lebih bisa berbicara tentang dunia kehidupan. Tentang kehidupan yang kita jalani, soal apa yang kita ketahui dan rasakan dalam laku manusia.

Pada bagian yang lain, tiga batang bambu berwarna hitam, putih, dan kuning dibiarkan tidak menembus dinding terluar dari kotak itu. Putrayasa berusaha mengajak kita tiba pada jeda, memaknainya sebagai  momen ‘interupsi’. Itulah momen ketika Pandora melihat sesuatu yang tersisa dalam kotak. Sebuah rahasia, yang tak lain adalah cakrawala harapan: utopia yang menjadi ruh bagi daya hidup tiap manusia. Ia, utopia itu, adalah bayangan ideal manusia yang indah, menggembirakan dan tanpa cela. Tampak pada karya seni instalasi ini, tiga warna simbolik yang menyiratkan pesan tentang harapan yang harus ditempuh melalui tiga jalanbagi tiap manusia. Dari segi ini, Putrayasa mengatakkan bahwa hitam, putih, dan kuning, masing-masing menyiratkan jalan pembebasan dari belenggu kegelapan, jalan terang pengetahuan, dan laku bijaksana. Dengan jalan itu manusia mengatasi distopia dengan bekal utopia sebagai pemandu harapannya.


Dua tokoh penting di luar Pandora —wanita ciptaan para Dewa yang terbuat dari lempung— yang terlibat  dalam kisah mitologi itu yakni Prometheus dan Epimetheus. Kakak beradik dengan dua watak yang beda. Prometheus (yang berarti melihat ke depan) memiliki otak cemerlang, sedangkan Epimetheus (yang berarti melihat ke belakang), suami Pandora itu, memang tak terlalu pintar. Mereka itulah yang turut mewanti-wanti Pandora agar tidak membuka kotak hadiah Zeus. Sebab tahu bahwa hadiah itu menyatu bersama siasat Zeus untuk menghukum Prometheus si pencuri api Olymphus. Tapi toh akhirnya Pandora membuka kotak itu karena rasa keingintahuannya. Itulah mula kutukan, malapetaka menyebar sepanjang jaman dan seantero tempat.

Dua naluri yang berbeda, karena lahir dengan watak tak sama. Naluri Epimetheus selalu menimbang masa silam untuk menentukan masa depan. Karena yang akan datang itu adalah sesuatu yang belum pasti maka bayangan tentang kemajuan ditatap dengan waspada dan tanpa pukau. Sejarah bagi Epimetheus adalah ruang refleksi: belajar dari masa silam untuk menentukan masa depan. Berbeda dengan Epimetheus, naluri Prometheus adalah menguasai dan membentuk. Maka masa depan tak lain paduan antara ambisi penaklukan dan keluasan ilmu pengetahuan. Dengan itu manusia menentukan nasibnya sendiri, tak usah menunggu anugerah langit.

Prometheus adalah sang distopian dan Epimetheus sang utopian. Pada yang pertama, menggunakan akal untuk menjelaskan dunia, sedang pada yang kedua menata dunia dengan kebijaksanaan. Bambu-bambu yang menembus dinding kotak itu menyarankan watak distopian Prometheus. Sementara tiga batang bambu yang tak menembus dinding itu menunjukkan watak Utopian Epimetheus. Maka Prometheus dan Epimetheus tak lain adalah bayangan kecemasan dan harapan itu sendiri. Keduanya berada dalam hidup manusia dan turut mewarnai cara-cara kita memaknai dunia.

Dengan segala risikonya, kita toh tak bisa mengelak hidup bersama sisi murung modernitas di milenium ini. Tak kurang, Ulrich Beck, Anthony Giddens dan Zygmut Bauman, mengingatkan bahwa di masa kini manusia hidup bersama ketidakpastian. Kita tak lagi bisa memprediksi apa yang akan terjadi dengan masa depan. Manusia akan mengambil keputusan yang sangat penting berdasar pengetahuan yang tidak mencukupi. Sebab tak ada pengetahuan apa pun yang memadai tentang hidup dan arahnya di kemudian hari. Ulrich Beck menandaskan bahwa kita harus hidup sebagai ‘masyarakat risiko’. Meski datang dengan sebuah pesimisme tapi suara sumbang mereka bolehlah kita dengar sebagai peringatan.

Ketimbang meletakkan utopia dan distopia sebagai kontras maka lebih baik melihatnya tak lebih sekadar persoalan semantik semata. Karena toh pada akhirnya, distopia adalah harga yang harus dibayar untuk menciptakan utopia. Harapan tentang hidup yang lebih baik justru hadir dalam kecemasaan: dengan menengok kegelapan yang telah lalu, kita akan mendapatkan harap. Mungkin sebab itu filsuf George Santayana punya alasan untuk didengar: “Siapa yang tak memahami masa silam akan dihukum untuk mengulanginya”. Lalu, mengapa kita pesimistis mengahadapi dunia yang distopia? Bukankah distopia merupakan peringatan bahwa sesungguhnya kita bisa mencapai posisi kemanusiaan yang lebih baik? Maka bayangkan apakah dunia kita hari ini terlihat baik-baik saja atau sebaliknya?

Meski dalam keseluruhannya karya seni instalasi ini hadir sebagai sesuatu yang meriah dan spektakuler namun tetap ditata dengan hemat dan tanpa kemubaziran. Selebihnya, kekosongan interiornya sengaja dibiarkan untuk menghadirkan atmosfer yang terhubung dengan eksteriornya. Pandora Paradise dipajang di kawasan terbuka Titik 0 KM Denpasar sebagai eksteriornya. Sebuah kawasan yang merupakan salah satu penopang budaya Bali di Denpasar. Di sinilah kita bertemu kosmos tradisi yang di manifestasikan sebagai patung Catur Muka. Empat penjuru mata angin dalam tatapan empat wajah: Sanghyang Iswara yang bijaksana, Sanghyang Brahma sebagai penjaga ketenteraman, Sanghyang Mahadewa pelimpah kasih sayang, dan Sanghyang Wisnu yang menyucikan jiwa manusia. Karya seni instalasi ini seakan membuka diri bertaut ke dalam sifat-sifat kosmos itu: ia mengarungi sebuah tempat yang sejarahnya ditulis oleh ingatan-ingatan tradisi masa silamnya. Pandora Paradise adalah imaji tentang ironi yang mekar di sebuah pulau impian: kemegahan menjadi ganjil sebab ada rasa cemas bersembunyi di baliknya. Mengutuhkan kembali memang tak gampang tetapi ingatan masa silam menyembuhkannya.

Di Titik 0 KM Denpasar, karya seni instalasi ini menyampaikan isyarat kepada publik. Angka nol adalah kekosongan yang istimewa sekaligus infinite, yang darinya kita bisa menengok tentang awal-mula. Ia serupa puisi yang menghidupkan harapan: esok kita temukan kembali apa yang hilang di dunia modern yakni manusia dengan tubuh yang bukan ‘terletak‘ di dunia tetapi ‘bermukim’ di dalamnya. Hidup memang tak mungkin bisa digapai sepenuhnya. Tetapi dalam ketaklengkapan itu, manusia menjadi bernilai ketika ia tak putus harap. 

Tatang B.sp. Pelukis, tinggal di Denpasar