Pengamat seni Amir Sidharta (kiri ke kanan), Intan Kirana Wianta, art dealer Henny Scott, dan konseptor kegiatan I Gede Made Surya Darma di sela-sela kegiatan seni di Pasar Badung. |
DENPASAR—Festival Pasar Rakyat Denpasar menghadirkan pesan perdamaian
di atas kain sepanjang 2.000 meter karya seniman Made Wianta.
Karya Made Wianta telah terpasang sejak Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2019 hingga puncak pelaksanaan festival sekaligus peringatan Hari Pahlawan 10 November 2019
mendatang.
Kain berisi pesan perdamaian tersebut merupakan karya Made Wianta dalam
pertunjukan seni “Art & Peace” yang digelar pada 10 Desember 1999 silam.
Kain ini merupakan salah satu peraga yang digunakan 2.000 penari dalam
happening art kolosal di Pantai Padanggalak, 20 tahun lalu. Made Wianta ketika
itu membentangkan kain pertama dari atas helikopter yang diterima sejumlah
penari di atas perahu dan membawanya ke pantai.
Pada masa itu, Made Wianta merespons kondisi sosial politik pasca-Orde
Baru yang penuh dengan kekerasan dan cenderung chaos. Sejumlah unjuk rasa
terjadi di berbagai penjuru tanah air. Made Wianta menyikapinya dengan
mengibarkan kain-kain berisi seruan perdamaian dari sejumlah tokoh dunia dengan
berbagai macam bahasa yang dibawakan 2.000-an siswa-siswi SMA dengan koreografi
mengikuti gerak ombak. Di antaranya terdapat kata mutiara dari John Lenon,
Gandhi, Tagore, Soekarno, Martin Luther King Jr, Muhammad Ali, Bunda Teresa,
dan sosok kharismatik lain dengan berbagai ragam bahasa di dunia.
Kini, pembentangan kembali untaian kain perdamaian di lorong kios dan
gedung Pasar Badung masih relevan di saat negeri ini terguncang isu hoaks,
radikalisme, dan terancamnya persatuan akibat perbedaan pilihan politik yang
tajam pascapemilu lalu. Seni dan perdamaian diharapkan menjadi pesan penting
untuk menggugah kembali menggapai mimpi hidup tenang dan damai.
Made Wianta adalah salah satu seniman kontemporer yang tetap lekat
membumi dengan falsafah dan cara pandang hidup orang Bali dengan nilai-nilai
universal yang menautkan aktivitas manusia, lingkungan, dan penciptanya. Selain
berkarya di atas kanvas atau 2 dimensi, ia kerap berkarya melalui medium tiga
dimensi, video art, hingga seni pertunjukan. Made Wianta juga sering mengusung
berbagai isu terkait masalahan sosial dan lingkungan, serta pemikiran terhadap
kebebasan berkarya.
“Dreamland”, misalnya, salah satu karyanya yang sebagian dikerjakan di
rumah pemotongan hewan dengan menggunakan warna merah dari darah sapi yang baru
disembelih. Saat itu ia merespons tragedi kemanusiaan bom Bali 2002 dengan
caranya sendiri yakni “mecaru” melalui karya seni. Karya ini dipadukan dengan
seni instalasinya pernah dipamerkan di Gaya Artspace Ubud dan dibawa ke Venezia
Biennale (2003).
Sejumlah karya seni pertunjukan lain di antaranya mengkritik kacaunya
arus lalu lintas di Bali (Jalan, 2005) dan menyoroti masalah sampah (video art:
BH di Sepanjang Sungai Badung). Ia juga pernah menggelar happening art dan seni
instalasi “Unity in Diversity” di GWK
Bukit Jimbaran (2013) yang dihadiri sejumlah tokoh nasional dan dunia di
antaranya futurolog Alvin Toffler.
Juah sebelumnya, pada 1992 Made Wianta menggelar pameran Art for Flores
yang seluruh hasilpenjualannya disumbangkan untuk korban gempa bumi dan tsunami
di Flores. Pada tahun yang sama ia menyumbang untuk penelitian AIDS di Asia
Tenggara dengan mengadakan pameran lukisan “Art for AIDS” di San Francisco,
Amerika Serikat.
Made Wianta yang kini dalam perawatan akibat kecelakaan beberapa waktu
lalu, melalui istrinya, Intan Kirana, mengatakan keluarga menyambut baik
kegiatan seni di Pasar Badung. “Seni dan perdamaian perlu terus digaungkan
untuk mengingatkan khalayak selalu menjaga harmoni semesta seperti kerap
dipesankan oleh Made Wianta,” katanya belum lama ini.
Pesan perdamaian itu pun kini digemakan kembali melalui pemasangan
karya Made Wianta yang dilakukan dalam momen peringatan Sumpah Pemuda 28
Oktober 2019 yang akan berlangung hingga Hari Pahlawan 10 November 2019 di
Pasar Badung. Ini merupakan bagaian dari kegiatan Festival Pasar Rakyat
Denpasar 2019 sebagai spirit untuk membangun rasa perdamaian dan sikap welas
asih untuk menghadapi persaingan global yang begitu kompleks dalam perkembangan
pasar konvensional yang sebagian beralih ke digital.
Tampil pula dalam perhelatan ini sejumlah seniman lintas bidang seperti
Arahmaiani, Jun Bintang, Puja Astawa, Didi Suprapta, Komunitas Kaktus dan
berbagai komunitas seni di Bali. Selain itu tampil pula seniman dari
mancanegara di antaranya Magda (Rusia), Camilla Himmelbla (Denmark) Kevin Mirch
(Prancis), dan Jasmin Okubo (Jepang).
Konseptor dan ketua panitia I Gede Made Surya Darma mengataan kegiatan
kolaborasi Komunitas Enam dengan Yayasan Danamon Peduli, Adira Finance dan
Pemkot Denpasar ini juga bertujuan untuk mendekatkan seni kepada publik selain
untuk mengajak masyarakat kembali
berbelanja di pasar tradisional.
Kata dia dalam konsep Catuspatha, pasar merupakan bagian penting dari
perempatan agung yang memiliki nilai dan makna sakral dalam tradisi Bali.
Catuspatha memiliki empat unsur yakni puri/keraton sebagai pusat pemerintah,
pasar tradisional sebagai pusat perekonomian, dan wantilan sebagai pusat budaya
serta ruang publik.(wan)