Hal tersebut mengemuka dalam ‘Dialog Budaya Dharmaning Gesing’ yang digelar panitia Sanur Village Festival XIV menghadirkan narasumber arsitek Popo Danes, peneliti bambu Universitas Udayana Dr. PK Diah Kencana, pengelola Rumah Sanur Ayip Budiman, dan budayawan yang juga undagi Dr. Tjokorda Gde Raka Sukawati, Jumat (9/8/2019) petang.
Diah Kencana mengatakan dari sekitar 1.600 jenis bambu di dunia, 160 di antaranya berkembang di Indonesia dan 40 jenis berada di Bali. “Sayangnya, pemanfaatan bambu belum merupakan prioritas ilmu pengetahuan, teknologi, maupun kebijakan pemerintah,” katanya.
Ia menjelaskan permintaan ekspor rebung bambu saja masih sulit dipenuhi, padahal jumlahnya rata-rata mencapai 4.500 ton per tahun ke Jepang, Taiwan, Kanada, Korea, Hong Kong dll. Bambu sebagai sumber pangan ini menjadi fokus penelitian dan ditularkan kepada sejumlah petani bambu melalui pendampingan di berbagai daerah baik di Bali, Jawa, dan Lombok.
Beberapa produk turunan bambu, khususnya dari jenis tabah, di antaranya asinan rebung, asap cair untuk pengawet organik, arang dan briket sebagai sumber panas, teh daun bambu, es krim. Diah Kencana terus melakukan inovasi termasuk kemasan rebung yang mampu bertahan lama agar mudah diolah menjadi bahan lumpia, kare, urap, sate, plecing, tum, dll.
Ketua Umum Sanur Village Festival IB Sidharta Putra memberikan sambutan. |
Pemanfaatan bambu juga disampaikan Ayip Budiman yang pernah menjadi kurator produk bambu untuk Chiangmai Design Week Thailand 2017 lalu. Ia menyebut perlunya transformasi nilai-nilai tradisi secara bertanggung jawab untuk pemenuhan gaya hidup. Misalnya, sejumlah perangkat berbahan bambu yang telah mendapat respons pasar internasional seperti sepeda, gitar, biola, perangkat makan, furnitur dll.
Seni dan budaya menjadi cikal bakal kreativitas dan tantangannya kini menjadikan tradisi untuk menjadi benda serta fungsi baru yang modern yang tidak sekadar estetik tetapi memiliki nilai kegunaan yang lebih praktis. Ayip menyebut hal tersebut bisa dilakuan melalui tahapan teknik, konsep, kegunaan, bentuk, bahan baku, dan ikon yang ditentukan ornamen, warna, desain dsb.
Ayip menambahkan selama dua tahun ini Rumah Sanur mengembangkan upaya untuk meningkatkan nilai dari produk bambu berbasis pengalaman, penelitian, dan mendokumentasikan melalui buku. Pengembangan produk berbahan dasar bambu yang menhacu dari material lokal, seni budaya, keterampilan perajin, dan prosesnya bisa menjadi produk home décor, fashion, hobbies, dan kerajinan.
Popo Danes mengatakan bambu yang dipersiapkan dengan benar memberikan kekuatan dalam jangka waktu lama untuk bangunan. Ia mencontohkan sejumlah rumah hunian dan komersial yang dibangun di dalam dan luar negeri lebih dari 30 tahun masih berfungsi dengan baik hingga kini.
Dalam sejumlah rancangannya Popo Danes menggunakan bahan bambu dengan mengadopsi arsitektur tradisional Bali, Jawa, dan Sumba baik untuk rangka, dinging, dan bahkan lantai seperti di Lelewatu Resort Sumba. “Tentu, dikombinasi dengan bahan modern baik secara fungsi dan memenuhi tuntutan kegunanya,” ujarnya.
Tjokorda Gde Raka Sukawati berbagi pengalamannya sebagai undagi dalam menyiapkan berbagai perangkat upacara seperti pelebon (ngaben) besar yang dilaklukan diPuri Ubud. Ia mencontohkan pembuatan bade setinggi 30 meter, berat 19 ton yang sekitar 90% berbahan bambu.
Kepeduliannya tentang bambu karena secara tuntutan adat yang sangat tergantung dengan bambu sejak proses kelahiran hingga kematian. Kata dia inilah kearifan leluhur yang diwariskan hingga kini dan dirasakan sebagai taksu yang menjadi Bali dikunjungi jutaan wisatawan setiap tahun.
Bupati Mentawai Yudas Sabaggalet memberikan pandangan terkait pemuliaan dan pemanfaatan bambu. |
Ketua Umum Sanur Village Festival IB Gde Sidharta Putra mengatakan upaya menggali dan memuliakan bambu ini merupakan bagian dari menerjemahkan tema Dharmaning Gesing dalam festival ke-14 yang akan digelar di Pantai Matahari Terbit, 21-25 Agustus 2019 mendatang.(WAN)