Karya Wiradana mencitrakan figur-figur naif primitif yang memenuhi bidang kanvas. Figur-figur ini menyuguhkan narasi tentang aktivitas kehidupan satwa maupun manusia dan lingkungan.
Kurator I Wayan Seriyoga Parta mengatakan sensibilitas Wiradana dibangun dengan penghayatan mendalam dari aspek-aspoek formal seni rupa, dilatih secara intensif, melalui proses kreatif yang panjang.
"Proses kreatif Wiradana bergerak dinamis melalui jalurnya sendiri, itulah kekuatan garis yang mendasari karya-karyanya yang ditekuni sejak lama,” katanya.
Seriyoga menambahkan sejumlah karya Wiradana mengetengahkan komposisi abstraksi yang dibentuk dari karakter garis-garis spontan dengan aksen warna-warna kontras. “Garis menjadi kekuatan karya Wiradana yang diterakan dengan spontan tanpa beban dan mengalir liar,” tuturnya.
Pencinta seni Harry T. Putra mengaku kaget dengan pencapaian karya terkini Wiradana yang mengalami lompatan besar. Harry yang sejak lama mengoleksi karya Wiradana menyebut pameran ini menunjukkan teknik, keterampilan, kecanggihan, dan kesungguhan seorang perupa.
Kata dia kejujuran dan kebebasan berkarya merupakan modal utama perupa agar bisa berekspresi tanpa beban. “Kejujuran dan kebebasan berkarya itulah jati diri Wiradana. Semoga dia bisa meracik dan mengembangkan modal itu untuk meniti karier lebih bagus lagi,” katanya.
Harry yang akrab disapa Heri Soto ini pada malam pembukaan pameran langsung memilih tiga karya untuk dikoleksi, di antaranya Last Dialogue. Dia juga memuji Anchient Shark dan Animals Reef (keduanya berukuran 1,5 x 2 m) merupakan masterpiece atau karya agung Wiradana.
Pameran yang berlangsung hingga 31 Oktober ini juga menandai ulang tahun Wiradana yang jatuh pada 27 Oktober. Pameran ini dibuka Jumat (7/9/2018) oleh pemilik Museum ARMA Anak Agung Rai dan dihadiri pemilik Griya Santrian Ida Bagus Gede Sidharta Putra dan Konsul Jenderal India di Bali R.O. Sunil Babu.
Wiradana mengaku garis baginya merupakan napas pertama dalam berkarya. Ia mempertahankan dan mengembangkan teknik melukis dengan imajinasi bebas yang awalnya terinspirasi dari lukisan-lukisan purba di situs bersejarah Gola Leang-Leang, Maros, Sulawesi Selatan.
Wiradana adalah mantan Ketua Sanggar Dewata Indonesia dan alumnus Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta yang sejak pameran tunggal perdana Imajinasi Purba di Purna Budaya pada 1991 tetap menekuni figur-figur naif dan primitif.
Ia pernah menyabet penghargaan karya lukis terbaik FSR ISI Yogyakarta, Sketsa Terbaik FSR ISI Yogyakarta, finalis Philip Morris 1998 dan 2000, serta Ambassador Award of Indonesia-Belgium, 2006. Terakhir, pada 2018 ini menyabet medali emas dalam Asian Art Biennial Hong Kong.
Salah satu karya bertajuk Passionate (ukuran 2 x 4,5 m) mencolok mata dalam ruang pameran ini. Karya yang dipenuhi komposisi figur manusia dan binatang yang menampakkan interaksi intens antara keduanya. Figur-figur ini terlihat detil, jalin-menjalin, dan membangun sebuah narasi panjang.
Namun, dari kejauhan karya 3 panel itu tampak seperti komposisi tekstur kecoklatan seperti dinding lapuk yang abstrak. Komposisi bidang abstrak ini dikonstruksi dari figurasi satwa dan manusia dengan goresan spontan dan ekspresif Wiradana.(wan)