DENPASAR (iniBali.com): Sang Abimayu bersedih hati karena cintanya dengan Diah Sitisundari (anak prabu Kresna) diketahui oleh warga Dwarawati, sehingga dia harus melarikan diri ke hutan. Setelah mendapat anugerah dari Dewi Durga akhirnya Abimayu dibantu oleh Gatutkaca bisa mendapatkan Diah Sitisundari.
Lantas, kejadian itu membuat Sang Baladewa sangat marah, karena dia ingin menjodohkan Sitisundari dengan Laksanakumara anak Duryodana. Oleh sebab itu, baladewa dibantu laksanakumara berkeinginan merebut Sitisundari dengan jalan menyerang Gatutkaca dan Abimayu ke Pringgadini.
Namun sebelum terjadi peperangan yang semakin parah , Prabu Kresna datang melerai dan memberikan wejangan kepada Baladewa, akhirnya Abimayu dan Sitisundari pun bisa bersatu kembali.
Demikian cerita Parwa Pedalangan yang diangkat dalam pagelaran karya seni penciptaan oleh dosen ISI Denpasar, yang mengambil judul “ Gatutkaca Sraya”. Karya ini merupakan satu diantara 6 karya yang ditampilkan selama dua hari 2-3 November bertempat di Gedung Natya Mandala Kampus ISI Denpasar.
Pementasan seni pewayangan ini, merupakan penciptaan dengan penata karya I Kadek Widnyana dan I Gusti Putu Raka, tampil inovatif, dengan gerakan dan kelembutan para penari. Kesan mistis terselip tatkala sejumlah raksasa yang diwujudkan dalam wujud rangda ditampilkan di atas panggung.
Karya lain yang disajikan diantaranya Garapan Tari kreasi baru berjudul Durnimitta, Drama Gong Musikal Bali berjudul “Satyaning Kinasih”, Simpony Rata Indonesia dengan Choir Orchestra Etnik Multimedia, pameran dari 35 karya FRSD dan garapan film dokumenter berjudul The Golden Story of ISI .
Menurut Ketua Panitia Drs. Anak Agung Gde Ngurah TY, M.Si pameran dan pagelaran ini adalah realisasi dari proposal yang dibiayai dengan Dana DIPA ISI Denpasar tahun 2015. Adapun proses penciptaan karya seni ini telah melalui beberapa tahapan yaitu pengajuan proposal pada bulan Februari 2015.
“Kegiatan ini untuk memotivasi para dosen dalam berkreatifitas agar lebih produktif, inovatif, dan kopetitif dengan kualitas penciptaan yang optimal, serta untuk mendapat saran dan kritik dari pengamat dan masyarakat umum,” pungkas AA Gde Ngurah. (dea)