Bakteri Wolbachia Pengendali Alami Demam Berdarah

Minggu, 04 Maret 2018 : 13.44
  George S. Tahija dari Yayasan Tahija bersama Prof Adi Utarini M Sc MPH Ph.D peneliti utama EDP dan Dr Peter Ryan, peneliti bakteri Wolbachia dari Monash University, Sabtu (3/3/2018) di Hotel Ayana

MANGUPURA (inibali.com) - Demam berdarah dengue (DBD) yang ditularkan melalui nyamuk aedes aegypti, mengancam lebih dari seperempat penduduk bumi atau 2.5 miliar orang. ASEAN memiliki jumlah angka kasus infeksi dengue tertinggi di dunia, dari data WHO tahu 2015, dimana setiap tahun terdapat sekitar 390 juta orang terinfeksi virus dengue. Dari jumlah tersebut, 22.000 diantaranya, khususnya anak-anak dan remaja meninggal dunia. 

Di Indonesia penyakit dengue meningkat dari 90.245 kasus tahun 2012 menjadi 100.347 kasus tahun 2014 dengan angka kefatalan 0.9 persen.  Berbagai cara sudah dilakukan untuk menanggulangi  DBD di Indonesia seperti pemberantasan sarang nyamuk (PSN), Fogging maupun dengan obat nyamuk, namun belum bisa mengatasi masalah DBD.

Yayasan Tahija yang merupakan organisasi nirlaba membiayai penelitian pengendali alami demam berdarah. Salah satu penelitian yang sedang dikembangkan di Indonesia melalui penelitian mengenai DBD yaitu Eliminate Dengue Project (EDP). George S. Tahija dari Yayasan Tahija menyatakan pihaknya sangat konsen dengan DBD di Indonesia. Bahkan pihaknya mengaku telah mengeluarkan jutaan dolar untuk membiayai penelitian megenai bakteri wolbachia ini.

Prof Adi Utarini M Sc MPH Ph.D peneliti utama EDP didampingi Dr Peter Ryan, peneliti bakteri Wolbachia dari Monash University, menjelaskan penelitian ini menggunakan bakteri alami wolbachia pada serangga. Bakteri wolbachia adalah bakteri alami yang dimiliki serangga. Bahkan hampir oleh 70 persen serangga. Namun bakteri ini tidak ada pada tubuh nyamuk aedes aegypti.

Serangga yang memiliki bakteri wolbachia seperti lalat buah, capung, dan kumbang disuntikan ke dalam telur nyamuk aedes aegypti. Setelah telur berkembang menjadi nyamuk dewasa, kemudian dilepas untuk kawin dengan nyamuk liar lainnya. Cara kerja bakteri wolbachia  adalah menghambat perkembangan virus DBD yang ada pada tubuh nyamuk aedes aegypti.

"Jadi kalau nyamuknya menggigit manusia, virusnya tak ikut masuk ke dalam tubuh manusia. Virus DBD tak bisa keluar dari dalam mulut nyamuk aedes aegypti tersebut karena ada wolbachia-nya. Dari hasil penelitian juga dinyatakan bakteri walbachia aman bagi tubuh manusia," tuturnya disela seminar di Hotel Ayana, Jimbaran, Sabtu (3/3).

Tujuan akhir dari penelitian ini adalah ingin melihat bagaimana teknologi ini bisa menurunkan kasus DBD di Yogyakarta. Dirinya mengaku pemantauan terhadap perkembangan nyamuk ber-wolbachia ini dilakukan hingga 2019 yang kemudian akan dibandingkan dengan jumlah kasus DBD sebelumnya. "Harapannya penelitian ini bisa menghasilkan atau menekan DBD. Jika berhasil, pada 2020, ini akan dikomunikasikan dengan pemerintah terutama Kemenkes," pungkasnya.

Dr Peter Ryan, peneliti bakteri Wolbachia di Monash University mengatakan, teknologi ini mulai ditemukan Tahun 2011 di Australia yakni di Monash University.  Mulai tahun 2014, teknologi ini sudah diterapkan di wilayah kecil dan tahun 2016 teknologi ini diterapkan di Jogjakarta. Di negara lain teknologi ini sudah mulai digunakan. Misalnya Brazil, Kolombia, dan Australia yang kasus DBD tertinggi di dunia. 

Dikatakan, teknologi ini sebenarnya untuk menekan virus penyebab DBD. Pihaknya juga melakukan kajian terhadap cikungunya dan malaria. Selama ini belum ada teknologi yang bisa mengendalikan DBD. "Kita berharap teknologi ini menjadi solusi DBD," imbuhnya. (wid)