Eksekusi Sesat, Pemilik Tanah Lapor Ke KPK

Senin, 23 Mei 2016 : 15.19

Pengadilan Negeri (PN) Denpasar melakukan eksekusi tanah milik Agus Wijaya dan PT Stepup di Jimbaran, Kamis (19/5/2016). Eksekusi ini diituding sebagai merampokan hak milik warga terkait sengketa lahan yang sertifikatnya sudah dicabut dan beralih kepemilikan, namun malah dieksekusi atas permohonan Putra Mas Agung, tanggal 4 Februari 2016 lalu. Pihak Agus Wijaya melalui kuasa hukumnya pun akan segera mengadukan kasus ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Eksekusi “babak kedua” ini berjalan tanpa perlawanan sebab pihak Agus Wijaya tak hadir dan memilih akan melaporkan ke KPK. Edward T.P.H. Hasibuan, kuasa hukum Agus Wijaya mengaku dengan tegas menolak rencana eksekusi tersebut. Alasannya, proses peradilan tidak diijalankan dengan baik dan benar. “Saya dalam posisi pihak pelawan. Yang memiliki hak atas tanah itu selama ini atas nama Agus Wijaya. Tanah itu sudah dibeli sah dari Loeana dan Andre Kanginnadhi. Klien kami tidak dalam posisi para pihak dalam perkara itu. Mengapa ikut dieksekusi?” tanya Edward.

Apalagi, dalam perkara itu Edward mengaku telah melakukan perlawanan yang didaftarkan di PN Denpasar dengan nomor perkara 139/Plw/2016. “Kami mengajukan perlawanan, kok diabaikan. sidang masih masih berjalan, eksekusi dilakukan. Yang dilakukan PN Denpasar perbuatan yang melanggar hukum, bahwa SHM sertifikat No.4038 dan SHGB No.744 sudah tidak ada atau sudah dimatikan dan dicabut oleh pihak BPN tahun 2004. Alangkah anehnya sertifikat yang sudah dicabut dan beralih kepemilikan, namun dieksekusi lagi sertifikat seluas 3.840 m2 tersebut,” ujar Edward.

Padahal menurutnya, awal sengketa ini berawal dari sertifikat induk No.4038 atas nama Loeana Kanginnadhi yang sebagian sudah dibeli oleh kliennya Anton Kanginnadhi dengan SHM no 17191/jimbaran dengan luas 7720 m2 dan SHM 13015/jimbaran dengan luas 7590 m2 yang berlokasi di Jimbaran, Badung. Sebenarnya sertifikat atas nama Leona tersebut seluas 33 ribu meter persegi, bukan seluas 3.840 meter persegi seperti amar putusan PN Denpasar dan dipecah menjadi dua sertifikat.

Ia pun mengaku bingung lantaran dalam perkara yang menyeret kliennya itu terdapat tiga penetapan dengan putusan yang berbeda-beda. Penetapan itu antara lain pada tanggal 7 September 2015, 29 September 2015 dan 9 Mei 2016. “Tanggal dan isinya beda meski dikeluarkan oleh institusi yang sama. Kan aneh kalau ada amar putusan yang berbeda dengan penetapan,” ujar dia.

Bagi dia, penetapan-penetapan tersebut seolah-olah diberikan penafsiran sendiri tanpa mempertimbangkan aspek hukum. “Hukum acara sudah salah penerapannya. Ini ada apa. Jangan seperti perkara titipan dong. Eksekusi kok kayak sinetron bersambung. Hari ini beda, besok beda lagi. Mestinya sekali tuntas eksekusinya,” ucapnya kesal.

Ia mengaku telah melaporkan perkara yang menyeret kliennya itu kepada Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA). Tak hanya itu, Edward juga telah melaporkan perkara yang membelit kliennya kepada Komisi Yudisial. “Kami juga sudah disampaikan keberatan ke PN Denpasar dan PT Bali untuk paling tidak menunda keputusan ini sampai perlawanan kami memiliki kekuatan hukum tetap. Kami menolak tegas eksekusi ini,” tegas Edward.

Terakhir, ia mengaku akan melaporkan perkara ini kepada KPK. “Akan kita laporkan ke KPK. Sudah ada suratnya, sudah dibuat. Akan kita kirimkan segera,” ujar Edward. (wid)